Oleh : Santino Widjaja


Lalu Ia (Yesus) memandang mereka (sepuluh orang kusta) dan berkata: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” Dan sementara mereka DI TENGAH JALAN mereka menjadi tahir – Lukas 17:14

Tolong garis bawahi frasa “Di tengah jalan” pada ayat di atas. Sebab kita akan membahasnya sebentar lagi.

Penyakit kusta pada jaman Alkitab merupakan penyakit yang belum ada obatnya, dan dipandang sebagai penyakit yang najis. Orang yang menderita kusta akan menjalani kehidupan yang amat mengerikan. Karena bukan saja ia akan menyaksikan sendiri bagaimana anggota-anggota tubuhnya rusak dan terlepas secara bertahap, tapi juga karena ia harus dikucilkan oleh semua orang, termasuk keluarganya. (Imamat 13:45-46)

Satu-satunya komunitas yang bisa menerima orang yang menderita kusta adalah sesama penderita kusta juga. Itulah sebabnya sesama penderita kusta sering hidup berkelompok, sebagaimana yang diceritakan pada peristiwa di atas.

Seorang kusta yang (kalaupun bisa) sembuh harus diverifikasi oleh seorang imam, untuk dinyatakan ketahirannya. Artinya ia harus yakin sembuh lebih dulu, baru pergi ke imam. Namun pada peristiwa di atas, tidak ada kesembuhan pada saat mereka betemu dengan Yesus, dan Yesuspun tidak menjanjikan bahwa mereka akan sembuh. Yesus hanya berkata kepada kesepuluh orang kusta tersebut “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.”

Kesepuluh penderita kusta tersebut bisa saja bertanya-tanya sebagai berikut: “Tidakkah Yesus tahu, bahwa menginjak Bait Suci dalam kondisi kusta seperti ini akan menajiskan Bait Suci, yang bisa diganjar dengan hukuman mati? – Bukankah lebih aman kalau kami disembuhkan secara instan terlebih dulu seperti yang Yesus lakukan kepada orang-orang sakit lainnya. Baru setelah itu kami datang kepada imam?” Namun mereka taat, dan pergi juga. Lalu dikatakan “di tengah jalan”, yaitu saat mereka sedang berjalan, mereka baru menyadari bahwa kustanya sudah hilang!

Sebelum kita menarik pelajaran dari kisah di atas, saya ingin menambahkan kisah Yosua. Ingat bagaimana Yosua memimpin bangsa Israel menyeberangi Sungai Yordan?. Sungai itu belum terbelah waktu para imam sudah berdiri tepat di tepi sungai.  Tuhan berkata, “Ayo, maju melangkah sekarang”. Saat itu adalah mudah bagi para imam untuk bertanya kepada Tuhan, “Melangkah? Maksudnya nyebur?” Tapi mereka diam dan taat. Lalu terjadilah seperti ini…

“Segera sesudah para pengangkat tabut itu sampai ke sungai Yordan, dan para imam pengangkat tabut itu mencelupkan kakinya ke dalam air di tepi sungai itu… maka berhentilah air itu mengalir.” (Yosua 3:15-16). Melangkah, mujizat. Bukannya mujizat, melangkah.

Kedua kisah di atas memberikan kita satu pelajaran penting. Mujizat tidak selalu terjadi secara instan. Seperti pada kedua peristiwa di atas, bisa saja Allah menyuruh kita untuk melangkah lebih dulu. Taat saja. Lakukan saja bagian kita. Nanti “di tengah jalan” tiba-tiba kita menyadari bahwa mujizat sudah terjadi! Bahwa apa yang kita doakan sebenarnya sudah terjawab.

Orang kusta tidak sembuh kalau mereka tidak melangkah. Air sungai Yordan tidak akan terputus kalau para imam tidak melangkah. Begitulah, seringkali mujizat tidak terjadi, karena kita tidak mau melangkah lebih dulu. Ayo, dalam nama Yesus mari kita melangkah sekarang, dan kita akan lihat campur tangan Allah menyertai kita di tengah jalan.

Related posts

Leave a Comment